JAKARTA
-- Para ibu yang menjalani proses persalinan
atau melahirkan di negara-negara berkembang sebagian besar harus mempertaruhkan
nyawanya.
Penyebabnya, banyak proses persalinan
dilakukan tanpa didukung bantuan tenaga medis yang kompeten.
Simaklah statistik kesehatan ibu
menurut data global yang dihimpun dari berbagai organisasi nirlaba dunia dan
Badan Kesehatan Sedunia (WHO) :
1. Setiap 90 detik seorang
perempuan meninggal pada masa kehamilan atau persalinan.
2. Angka kematian ibu hamil dan
melahirkan mencapai 350.000 per tahun atau lebih dari 1.000 orang per hari.
3. Sekitar 99 persen kematian ibu
terjadi di negara berkembang.
4. Satu dari 11 ibu yang
meninggal karena kehamilan atau persalinan terjadi di Afghanistan.
5. Amerika Serikat menempati
urutan ke-50 dalam jumlah kematian ibu, jauh lebih tinggi dibanding negara
Eropa, Asia dan Timur Tengah.
6. Sepertiga dari seluruh
persalinan di seluruh dunia dilakukan tanpa tenaga profesional.
7. Di tahun 20111, lebih dari 50
juta bayi dilahirkan tanpa bantuan tenaga medis.
8. Bila jumlah bidan ditambah
350.000 orang maka angka kematian ibu dan bayi yang bisa dicegah mencapai 3,6
juta jiwa.
9. Peningkatan 10 persen
kemampuan tenaga kesehatan setara dengan penurunan angka kematian ibu sampai 5
persen.
10. Sekitar 80 persen kematian
ibu bisa dicegah dengan murah, yakni pemeriksaan kehamilan teratur, keluarga
berencana (KB), persalinan dengan tenaga medis, serta perawatan kesehatan selama
seminggu setelah persalinan.
11. Sekitar 1 dari 7 perempuan di
negara berkembang menikah pada usia 15 tahun.
12. Gadis berusia kurang dari 15
tahun beresiko lima
kali lebih besar meninggal saat persalinan.
13. Komplikasi selama kehamilan
dan persalinan menjadi penyebab utama kematian pada remaja putri berusia 15-19
tahun. Angkanya mencapai 70.000 kematian setiap tahun.
14. Sekitar 215 juta perempuan
yang tidak mau menambah jumlah anak tidak memiliki akses terhadap layanan KB.
15. Setiap tahunnya, kontrasepsi
modern bisa mencegah 188 juta kehamilan yang tidak diinginkan.
16. Penggunaan kontrasepsi
membantu mencegah 150.000 kematian ibu.
17. Memenuhi kebutuhan calon
akseptor KB akan mengurangi kematian ibu sampai 32 persen.
18. Keluarga berencana juga mengurangi
kematian bayi sampai 10 persen.
19. Sekitar 25 juta ibu di
seluruh dunia telah menerima informasi kesehatan melalui internet dan ratusan
ribu ibu menerima informasi tersebut melalui ponsel.
20. Meski penyampaian informasi
kesehatan sudah canggih, namun baru 23 negara yang mencapai berhasil target
Millenium Developtment Goals (MDG's) nomor lima yakni mengurangi kematian ibu
sampai 75 persen pada 2015. (ABCNews/KOH)
Soal HIV AIDS, Perlu
Pendekatan Rasa Takut
, 28 Desember 2011
Page Image
Page Content
JAKARTA -- Bagi Eduard Depari sosialisasi
mengenai HIV/AIDS caranya sudah benar, tetapi pesannya kurang strategis. Kalau
berbicara mengenai komunikasi, katanya, berarti berbicara mengenai media, siapa
yang menyampaikan, dan pesan.
”Media mungkin sudah tepat.
Khalayak sasaran bisa jadi juga sudah tepat. Soal sasaran perlu diberikan
pentingnya penekanan, dan prioritas ke daerah-daerah yang rentan terhadap
HIV/AIDS,” katanyan ketika ditemui di ’markas’ Royston Advisory Indonesia UOB
Plaza, Jalan MH Thamrin, Jakarta, pekan lalu.
Di ruang kantor model minimalis,
Eduard Depari menambahkan selain yang dikemukakan, mengenai komunikatornya juga
sudah cukup baik, yakni mereka yang memiliki kredibilitas termasuk
pemerintah.
”Cuma masalahnya apakah pesannya
termasuk strategis. Karena begini. HIV/AIDS ini bukannya sesuatu yang bisa kita
samakan penyakit seperti malaria, demam berdarah dan sebaianya dalam hal
penyebaran dan dampaknya,” kata pakar komunikasi ini.
Alasannya? ”Ya, karena, utamanya
AIDS itu kan
sama dengan sesuatu yang fatal, juga menyangkut generasi. Saya sebut pesannya
kurang strategis karena penyampaiannya atau penyebarluasannya harus melalui
pendekatan rasa takut. Ini yang kurang,” kilahnya.
Orang atau masyarakat mungkin
tahu, tapi belum tentu sadar. Lain antara tahu dan sadar mengenai dampak AIDS
ini. Apakah mereka sadar akan potensi penyebarannya yang bisa-bisa
indiskriminatif.
Artinya, anak-anak yang belum
mengenal seks bisa terkena. Bayi merah yang belum berdosa juga bisa terkena.
Jadi hal semacam inilah kenyataannya. Apalagi bagi masyarakat Indonesia yang relatif tingkat
pendidikan umumnya belum terlalu tinggi.
Pendekatan rasa takut itu
menurutnya menjadi sesuatu yang mutlak. Dan Eduard pun memberikan analogi.
Kalau menyampaikan soal penyakit gila anjing (rabies) misalnya, harus
digambarkan secara visual penderitaan orang yang terkena rabies. Ini harus
dijelaskan lewat kampanye soal indikasi dan akibat fatalnya kalau terlambat
menangani dampak rabies.
”AIDS juga begitu. Kita gambarkan
bagaimana bahaya dan dampak akibat AIDS, sehingga orang itu menjadi jera
tanpa harus mengalami. Celakanya sekarang sering sekali baru menyadari
bahayanya kalau orang dekat atau yang kita kenal mengalami. Ini bisa dicegah
kalau mau belajar dari pengalaman orang lain.”
Justru testimoni dari orang-orang
yang mengalami ini, menurut dia, harus diceritakan dan kalau perlu divisualkan
melalui televisi. (H)